October 27, 2011

Faces of Bandung : 5 Doodle/Graphic Diary Maker “ Sederhana, ringan, merekam momen”

Adalah jodoh ketika saya bertemu beberapa kali dengan sang narasumber di beberapa event belakangan. TUNZA Conference dan TEDxBandung ‘Counting Forward’. Berbekal self esteem tinggi dan kenekatan tiada tara, saya mencoba mengontak Tita Larasati, saya memanggil beliau Mba Tita (padahal murid nya memanggil Bu Tita :p), untuk diwawancara oleh #BandungUnite.

Setelah membuat janji, tibalah di hari selasa yang sedikit mendung namun sejuk, saya bertemu Mba Tita di Kantor Desain Produk FSRD ITB. Wah, langsung masuk ruang dosen bikin hati saya sedikit ciut. Akhirnya setelah mengutarakan sedikit background & maksud dari #BandungUnite , Mba Tita merespon dengan cukup antusias sekaligus spontan bertanya, “Bedanya dengan ITB United apa?” Dan saya coba jawab diplomatis, “ini cakupannya lebih luas, Mba. Bandung secara keseluruhan.” (padahal dalam hati, “jawab apaan ya?”) Awal yang menyenangkan nih, saya pun tanpa basa basi mencoba ‘mengenal’ Mba Tita and her doodles more closely :)

Saat ditanya mengenai kesibukannya, saya pun sepakat bahwa waktu Mba Tita banyak dihabiskan untuk mengajar. Selain itu, ibu multi-tasking ini juga aktif menjadi peneliti dan community developer . Menggambar doodle menurutnya bukan profesi, melainkan sudah menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Simply, doodle yang digambar adalah pilihan highlight kejadian yang dialami di hari itu. Malah cerita polos khas anak-anak yang menggemaskan juga hadir lewat cerita dari tokoh Dhanu & Lindri, kedua anak Mba Tita, "Keluarga, khususnya anak, memang sumber inspirasi saya. Kalau mereka sudah besar, saya akan tunjukkan kepada mereka, begini lho, kenakalanmu dulu," ungkap Mba Tita seraya tertawa.

Pecinta bambu dan sepeda yang hobi gambar sejak kecil ini bertutur bahwa awal mula doodle ini terkumpul ketika magang di Jerman tahun 1995. Perempuan bernama lengkap Dwinita Larasati ini mengirim kabar pada orangtuanya melalui gambar doodle yang dikirim lewat mesin facsimile. “Jaman itu, internet belum musim.” Kemudian ibu Mba Tita mengumpulkan gambar-gambar tersebut dan di’sebarluaskan’ ke saudara, teman dan keluarga. Saat itu gambar Mba Tita bahasanya ‘gado-gado’. Ada bahasa Inggris, Indonesia, Jerman dan Belanda. Setelah menuai protes dari teman-teman di Jerman, akhirnya sekarang doodle dibuat dalam versi bahasa Inggris. 

Buku dengan format graphic diary ala Mba Tita yang lahir pada 28 Desember 1972 itu, pertama kali terbit di Harlem, Belanda. Ketika itu Mba Tita yang sedang tinggal disana mengikuti festival komik . Saat itulah karyanya mulai diekspos, namun belum dalam format buku, melainkan berbentuk pameran. Keikutsertaan gambar Mba Tita juga sampai kepada momen gempa di Jogjakarta silam, ketika beberapa seniman bersatu dan membuat karya antologi (kumpulan gambar dalam satu buku) dan hasilnya disumbangkan kepada korban gempa. Event 24 hours Comics bertempat di Amsterdam juga menghantarkan doodle Mba Tita yang kemudian diluncurkan di Amerika. Tahun 2007 Mba Tita juga menggelar pameran DI : Y di Jakarta. 

Adapun tahun 2008 menjadi momentum bagi peluncuran buku perdana yang bertajuk CURHAT TITA yang diterbitkan oleh CAB (Curhat Anak Bangsa) publisher. Dicetak sebanyak 1500 eksemplar dan dicetak ulang ketika respon pembaca bagus. Ternyata buku jenis ini punya ‘pasar’ nya sendiri. Justru ‘ketidaklaziman’ inilah yang mendapat tempat di hati pembaca. Disaat pada era itu komik Indonesia masih sangat bersaing dengan komik Jepang (manga). Sampai sekarang buku Mba Tita sudah berada pada buku keempat. Semua dalam format graphic diary. Saat ditanya apakah Mba Tita pernah menggambar doodle selain curhat sehari-hari, beliau menjawab “fiktif? Pernah. Waktu Goethe ngadain lomba komik dalam rangka piala dunia jadi temanya tentang bola. Hehe”

Untuk yang baru mulai tertarik bikin doodle, Mba Tita punya tips nih. “doodle itu merekam yang dicatat” apa yang dialami, pilih satu highlight dan gambarkan. Simple kan? Karena doodle memang sebagai sarana informasi dan komunikasi yang gampang diserap. Selain itu graphic diary juga lebih untuk dikenang, nostalgiaan kalau dilihat di masa depan.

Tanggapan Seno Gumilar untuk karya Mba Tita juga memang langsung kepada ‘roots’ atau akarnya membuat doodle. Karya sederhana yang ringan dan merekam kelakuan/momen. Mba Tita ini kemana-mana bawa buku diary nya loh. Saya juga sempat diperlihatkan & mengintip sedikit isinya. Buku bersampul kulit warna hitam polos yang lumayan tebal dan tidak bergaris pada bagian halamannya alias polos. Disaat ada waktu luang, Mba Tita dipastikan ‘corat coret’ di diary itu. Uniknya memang semua gambar tidak diwarnai dan hanya menggunakan pulpen. “Dulu sih pernah coba diwarnai, tapi dengan kesibukan sekarang sepertinya gak sempat.” begitu menurut Mba Tita.

Sejumlah seniman gambar yang menjadi inspirasi bagi Mba Tita diantaranya adalah Eddie Campbell, Marjan Satrapi dan Craig Thompson. Walaupun masih asing di telinga saya, (thanks to Google) setelah ditelusuri mereka adalah illustrator, komikus dan pembuat graphic novel kelas kakap alias canggih pisan! Jadi ikutan nge fans nih saya, hehe. 

Yang juga seru adalah setiap tahun bertepatan dengan ultah CAB, tanggal 7 November selalu diadakan kegiatan membuat graphic diary selama 7 hari berturut-turut! Wow! Para pastisipan bisa mengirimkan link gambar mereka yang sudah diupload dan akan dibantu share oleh  website SEVEN . Bahkan juga ada closing dengan kegiatan workshop. Event kece bagi para ‘pencoret-coret’ alias doodle maker ini berlangsung sejak 2008. Kita lihat saja keriaan apa yang akan disuguhkan kembali di tahun ini :) asiknya gak semua yang ikut jago menggambar loh, bahkan ada yang minta ‘digambarin’ dan ada seorang suami yang minta dibuatkan gambar untuk mendiang istrinya. Bikin terharu deh. Intinya banyak kejadian seru lah selama 7 hari tersebut. 

Sama kayak saya yang excited berat dengar penuturan dari Mba Tita siang itu. Dengan cepat saya melirik jam di tangan kiri dan memutuskan untuk menyudahi interview kala itu. Disebelah saya sudah menunggu sesosok mahasiswa yang sepertinya ingin bimbingan dan alhasil dia menunggu saya berceloteh bersama Mba Tita. Hehe. Last question, saya wondering apa sih Good & Bad nya kota Bandung ini menurut Mba Tita.. 

“Good nya Bandung punya potensi komunitas kreatif dalam jumlah banyak. Bad nya pemerintah dan infrastruktur tidak mendukung.”

Setuju banget, Mba! Kemana-mana kayanya juga orang Bandung mah selalu kreatip, pake P. masih banyak kepedulian dari warga Bandung untuk menciptakan keunikan & sesuatu yang berbeda. Aneh dan nyeleneh di Bandung itu lumrah. Well, begitu pula dengan keunikan doodle khas Mba Tita yang selalu saya kagumi. Nekat kadang ada hikmahnya loh. Kenekatan itu sukses mengantarkan saya bertemu dengan salah satu idola saya, yaitu Mba Tita.





Terima kasih banyak atas kesediaan diganggu disela-sela kesibukan mengajar dan diajak ngobrol selama kurang lebih 45 menit. Sukses selalu untuk segala kegiatan dan terus menggambar ya Mba Tita :)

Selalu menginspirasi, jabat erat untuk Mba Tita Larasati.

Jobs quotes

“Your time is limited, so don’t waste it living someone else’s life. Don’t be trapped by dogma — which is living with the results of other people’s thinking. Don’t let the noise of others’ opinions drown out your own inner voice. And most important, have the courage to follow your heart and intuition. They somehow already know what you truly want to become. Everything else is secondary.” – Steve Jobs

October 23, 2011

Faces of Bandung 4 : "DJ adalah lifestyle"


Apasih yang ada dipikiran kalian semua pas ngedenger kata DJ? Keren? Ganteng? Jago main musik? Playboy? Suka mabok?
 

So, di Faces of Bandung 4 ini gue akan mewawancarai seorang teman yang berprofesi sebagai DJ, cowo yang nge-fans sama DJ Romi dan Armen Van Buren ini udah siap share semuanya tentang dunia per-DJ-an. Cekidot.

DJ kondang A.K.A beurit, begitulah sebutan buat temen gue yang satu ini, berawal dari perkenalan gue  pada tahun 2008 disebuah acara baksos club mobil Keluarga Salman di Jalan Dago. Awalnya gue gak nyangka kalo orang macam Allen ini adalah seorang DJ (disc jockey) dengan dandanan agak kaya anak metal dengan poni menjuntai menutupi mukanya dia lebih mirip vokalis Kangen Band dibanding seorang DJ.

Anyway, lanjut ke wawancara yang akhirnya bisa gue lakuin ditengah kesibukan dia sebagai sales Dancow dan orang yang so sibuk HAHAHA..

*Ok, kita mulai serius nih..*

October 21, 2011

Inggit Garnasih, Kekasih yang Tersisih


Selain dikenal sebagai founding father Negara Kesatuan Republik  Indonesia, Ir. Soekarno dikenal  juga sebagai lelaki karismatik yang tak lepas dari banyak perempuan. Kecintaanya terhadap sosok perempuan memang sudah menjadi rahasia umum. Seolah membenarkan “hobinya” menikah dengan banyak perempuan cantik, seperti dikutip dari  biografi Soekarno berjudul  Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat yang ditulis oleh Cindy Adams pada tahun 1966,  ia  berkata dalam biografinya,  “ I’am a physical man. I must have sex everyday!”

Dari banyak perempuan yang pernah hadir di kehidupan Soekarno, Inggit Garnasih bisa dikatakan sebagai salah seorang significant others yang banyak mempengaruhi pribadi Soekarno. Perempuan priangan ini berperan banyak dalam membangun mental Soekarno, sebelum akhirnya menjadi presiden pertama Republik Indonesia. Ialah yang setia mendukung Soekarno, baik secara lahir maupun bathin,  sebelum memasuki gerbang istana.

Inggit Garnasih lahir di Kamasan, Banjaran, pada tanggal 17 Februari 1888. Nama “Garnasih” merupakan akronim dari dua kata bahasa Sunda, yakni “Hegar” dan “Asih”. Nama “Inggit” juga tidak muncul begitu saja. Semasa kecil, ia sering pergi ke pasar. Orang-orang di pasar sangat senang melihat kecantikan perempuan kecil ini, terutama senyumnya yang manis. Kemudian orang-orang di pasar menyuruhnya tersenyum dengan imbalan uang sebesar satu ringgit. Dari situlah, panggilan “Inggit” muncul.

Sebelum menikah dengan Soekarno, Inggit telah menikah sebanyak dua kali. Pada usia 12 tahun, ia menikah dengan Nata Atmaja, seorang patih di Kantor Residen  Priangan.  Pernikahan ini tak bertahan lama. Beberapa tahun kemudian, ia menikah dengan seorang saudagar kaya yang juga tokoh Sarekat Islam Jawa Barat, H. Sanoesi.

Kehidupan rumah tangga Inggit berjalan normal sampai suatu ketika, sekitar tahun 1921, datanglah seorang intelektual muda dari Surabaya yang hendak melanjutkan pendidikan ke THS (sekarang ITB). Lelaki berusia 20 tahun itu bernama Soekarno. Ia bermaksud indekos di rumah Inggit dan H. Sanoesi. Soekarno tak datang sendirian. Ia membawa serta istrinya, Siti Oetari (15 tahun), puteri dari Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto. Karena ayah Oetari sama-sama tokoh Sarekat Islam, maka H. Sanoesi menerima kedatangan mereka dengan baik.

Ternyata, kedatangan Soekarno merupakan awal dari hancurnya rumah tangga H.Sanoesi-Inggit. Sejak semula, Soekarno telah jatuh cinta pada sosok Inggit yang cantik, lembut, dan keibuan. Inggit pun merasakan hal yang sama. Ia melihat sosok penuh karismatik dan cerdas dari diri Soekarno. Skandal pun tak terelakkan. Akhirnya, Soekarno mengembalikan Oetari pada ayahnya. H. Sanoesi pun merelakkan Inggit dinikahi Soekarno. Perbedaan usia yang terpaut cukup jauh (Inggit lebih tua 12 tahun) rupanya tak menghalangi mereka untuk bersama. Pada 24 Maret 1923, mereka resmi menikah.

Selama 19 tahun bersama Soekarno, Inggit menampilkan performa terbaiknya sebagai seorang istri. Ia adalah all in one wife. “Nggit” (panggilan sayang Soekarno kepada Inggit) adalah istri yang mendampingi ”Ngkus” (pangilan sayang Inggit pada Soekarno) ketika tengah  menjejakan kaki ke dalam dunia politik. Kehadiran Inggit adalah bentuk semangat yang nyata bagi Soekarno. Ialah yang memotivasi Soekarno ketika di penjara di Banceuy dan diasingkan di Flores serta Bengkulu. Bahkan, Inggitlah yang menjadi tulang punggung keluarga, sementara Soekarno berjuang memerdekakan negeri ini.

Melihat pengorbanan yang dilakukan Inggit, saya selalu berpikir bahwa dialah yang seharusnya menikmati gemerlap kehidupan istana. Ialah yang pantas mendapat gelar the first  first lady. Tapi, apa boleh dikata. Kenyataan bahwa Inggit tidak bisa mendapatkan keturunan, lambat laun  menjadi momok tersendiri bagi kehidupan pernikahan Soekarno-Inggit. Ketika Soekarno meminta izin untuk menikahi Fatmawati, yang notabene sudah dianggap anak oleh pasangan ini, Inggit menolak. Ia tak mau dimadu dan memilih becerai dengan Soekarno. Sungguh ironis.

Semakin ironis ketika mengetahui bahwa banyak orang yang tidak mengenal sosok Inggit Garnasih. Terutama masyarakat di Kota Bandung. Kebanyakan mereka tidak tahu bahwa ada perempuan priangan yang begitu berpengaruh di kehidupan Soekarno.  Mereka hanya tahu bahwa Inggit Garnasih adalah nama salah satu jalan yang ada di Kota Bandung. Tempat tinggal Inggit Garnasih di Jalan Ciaetul, Bandung, juga sepi pengunjung. Padahal, rumah itu sudah ditetapkan menjadi rumah bersejarah oleh pemerintah.  Kurangnya apresiasi masyarakat terhadap sejarah memang bukan cerita baru di negeri ini.

Sosok Inggit Garnasih mungkin kurang populer di kalangan masyarakat. Tapi bagi saya, Inggit adalah perempuan yang hebat, tangguh, dan luar biasa. Di antara sedikit tokoh perempuan yang muncul  pada masa perjuangan Indonesia, seharusnya nama Inggit Garnasih masuk ke dalam daftar. Dia adalah representasi perempuan yang berjuang dengan  caranya. Seorang perempuan inspiratif yang meskipun tersisih, tapi tetap memiliki kasih.
 
 Pegiat Aleut

Semasa Muda sumber. www.aleut.wordpress.com
Terima kasih untuk Komunitas Aleut atas kekayaan informasinya mengenai Inggit Garnasih.
 
 
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Umum Tribun Jabar, 21 April 2011.
 

Ngarekam Bandung (Bandung at a Glance)

Bandung. Kota yang dijuluki sebagai Paris Van Java dan kota Kembang ini memang gak ada abisnya menyediakan keindahan alam yang sangat indah buat bisa kita nikmati. Video singkat tentang keindahan Bandung dari @embitwit ini saya yakin bisa memberikan sesuatu nilai positif buat kalian tentang kota yang kita cintai ini, Bandung.



Credit:

@embitwit
A film by Febian Nurrahman Saktinegara
Produced by Arie Naftali Hawu Hede
Thanks to Muhamad Ramdan, Adrian Permana Zen dan Feisal Al Jabar
Music by: X-Ray Dog
http://vimeo.com/embivideo

October 20, 2011

Bandung Berkebun setelah Euphoria Tunza Conference 2011

Sepekan lalu, saya menghadiri kumpul penutupan dan evaluasi Tunza di Galeri Padi. Tak hanya penggiat Bandung Berkebun awal, namun juga seluruh volunteer yang sudah menjadi bagian dari keluarga Bandung Berkebun.
Di pertemuan itu Mba Cici (Aryani Murcahyani) selaku Bandung Berkebun Founder menyampaikan materi tentang “apa yang akan kita lakukan after Tunza?”

Setelah euphoria Tunza, kita harus kembali ke awal. Kembali menjadi pekebun slash petani urban yang menggarap kebun di Sukamulya. Bahkan sekarang tugas bertambah dengan mengurus tanaman di sepanjang jalan Tamansari dan Siliwangi yang telah ditanami saat kegiatan Street Farming Tunza kemarin.
Konsep Urban Farming kembali diingatkan oleh Mba Cici, dimana pemanfaatan ruang kosong perkotaan untuk ruang terbuka hijau yang bersifat edukatif dan rekreasi merupakan tujuan dari aktivitas Bandung Berkebun.

Ir. Soekarno dan ITB

Teman - teman Bandung, masih ingat dengan Bapak Proklamator kita, Ir. Soekarno? 
Kota Bandung memiliki keterikatan sendiri dengan sosok kharismatik ini. Terutama pada masa perkuliahan beliau. Yes, he studied in Bandung during college time. Tambah satu lagi poin spesial kota Bandung, kan?
Mau tau gimana kisah mahasiswa nya Bung Karno? Check this one out :)

Tahun 1922 beliau bersekolah di Technisce Hooge School (ITB) dan lulus pada tanggal 25 Mei 1926. dan salah satu dosen beliau adalah C.P Wolff Schoemaker yang banyak mengarsiteki bangunan-bangunan bersejarah di Bandung.
Soekarno merupakan 1 dari 11 anak pribumi yang berhasil diwisuda sebagai Insinyur dari THS. Soekarno berhasil lulus sebagai Insinyur Teknik Sipil mendapatkan gelar Civile Ingeniuer (Insinyur Sipil).dengan spesialisasi pekerjaan Jalan Raya dan Pengairan.
Pada masa sekolah di Surabaya, maupun ketika kuliah di Bandung, Sukarno senang membaca dan banyak menulis untuk suratkabar atau majalah. Ia selalu menulis nama samaran “Bima” untuk tiap tulisannya. Di antaranya ia menjadi penulis tetap di Majalah “Oetoesan Hindia” pimpinan HOS Cokroaminoto.
Ada satu pegangan yang menjadi prinsip Sukarno, yaitu pendapat seorang ahli filsafat yang theosofis, Swami Vivekananda. Pendapat yang selalu dihafal Sukarno adalah: “Janganlah membuat otakmu menjadi perpustakaan, tetapi pakailah pengetahuannmu secara aktif”.